Estonia Mobilisasi Warga untuk Perang Cyber

Januari 08, 2011

Estonia merupakan negara demokratis pertama yang memiliki organisasi pertahanan cyber.

Estonia kini tengah merekrut sekelompok pakar di bidang komputer untuk mempertahankan diri dari perang cyber.
Sekitar empat tahun lalu, pada Mei 2007, Estonia sempat dilanda serangan cyber yang diduga dilancarkan oleh Rusia. Hal itu dipicu oleh keputusan pemerintah Estonia memindahkan makam Talinn yang merupakan peninggalan pemerintahan Uni Soviet.
Padahal, Estonia merupakan salah satu negara yang paling tergantung dengan teknologi, dengan 80 persen dari penduduknya melakukan aktivitas perbankan online.
Setelah beberapa tahun lewat, Estonia memobilisasi sebuah organisasi bernama Cyber Defence League, yang terdiri dari sukarelawan yang beranggotakan para programmer, pakar komputer, dan software engineer.
"Liga ini berisi pada spesialis di bidang pertahanan cyber yang bekerja di sektor swasta maupun berbagai lembaga pemerintahan," ujar Menteri Pertahanan Estonia Jaak Aaviksoo, dikutip dari situs DailyMail.

Kekompakan yang melibatkan berbagai kalangan di Estonia ini, ternyata dilatar belakangi oleh beberapa pengalaman negara itu diduduki oleh negara lain, oleh tentara Soviet pada 1939, oleh Jerman pada 1931, dan Uni Soviet hingga 1991, saat Estonia menyatakan berpisah.
Menurut Aaviksoo, organisasi ini secara rutin bertemu di akhir pekan untuk membahas persiapan terhadap kemungkinan serangan cyber. Estonia kini menjadi satu-satunya negara demokratis yang memiliki pasukan pertahanan cyber semacam ini.

Para pejabat di Estonia sendiri memposisikan ancaman cyber sebagai hal yang sangat serius, sampai-sampai mereka berfikir untuk membuat draf peraturan untuk memastikan setiap komputer para pakar di negeri mereka cukup siap untuk menghadapi serangan cyber darurat.

Perampok Bantai Pembantu dengan 32 Tusukan

Januari 07, 2011

Di leher kanan 15 tusukan, sebelah kiri 14, di belakang leher, perut dan kening satu.

Seorang pembantu rumah tangga, Mutaroh (31), dibunuh secara sadistis oleh kawanan perampok. Peristiwa tragis itu terjadi di rumah majikannya di kompleks perumahan Taman Palem Lestari, Cengkareng, Jakarta Barat, Jumat, 8 Januari 2011. Korban ditemukan dalam kondisi teramat mengenaskan, di badannya terdapat 32 luka tusukan.

"Di leher sebelah kanan ada 15 tusukan, sebelah kiri 14, dan di belakangan leher satu. Kemudian di perut dan kening satu," ujar Kapolsek Metro Cengkreng Komisaris Pol. Ruslan, Jakarta. Tidak jauh dari tubuh korban, terdapat sebilah gunting berlumuran darah, yang diduga digunakan pelaku.
Peristiwa ini pertama kali diketahui oleh sopir, Sukrisno, sekitar pukul 11.00 WIB. Saat tiba di rumah majikannya, Sukrisno curiga melihat pintu pagar rumah dalam kondisi tak terkunci. Ketika membuka pintu, dia terkejut melihat Mutaharoh tergeletak bersimbah darah di lantai ruang tamu.

Dari hasil identifikasi polisi, korban dipastikan tewas akibat puluhan luka tusuk itu. "Diduga, peristiwa ini terjadi dalam rentang waktu pukul 07.00 hingga 11.00," kata Ruslan.
Petugas kepolisian yang mengidentifikasi lokasi kejadian menyimpulkan aksi brutal itu bisa jadi diakibatkan pelaku panik. Dari hasil pemeriksaan, diketahui para perampok berhasil menggondol sepeda motor serta sebuah telepon seluler.

Ilmuwan Ini Dihantui Hasil Temuannya

Januari 06, 2011

Ilmuwan David Nichols meneliti bagaimana obat psychedelic beraksi di otak tikus. Ia membuat racikan kimia yang mirip ekstasi dan Asam lisergat dietilamida (LSD) yang dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana bagian-bagian otak bekerja.

Nichols lalu menerbitkan hasil temuannya, berharap suatu hari hasil karyanya akan dipakai ilmuwan lain untuk mengobati depresi dan penyakit parkinson.

Namun, harapannya pupus. Hasil kerja Nichols ke luar dari lingkaran ilmiah dan justru dibajak dan digunakan untuk membuat obat-obatan ilegal murah yang dijual di jalanan. Yang menghantuinya, obat itu kerap mengambil nyawa akibat overdosis.

"Bayangkan, Anda bekerja demi tujuan mulia namun disalahgunakan seperti ini," kata Nichols seperti dimuat AP, Kamis 6 Januari 2011.

Pria 66 tahun yang kini duduk sebagai kepala departemen farmasi Purdue University ini curhat di salah satu jurnal ilmiah terkemuka, Nature, untuk mendeskripsikan perjuangan etis yang jarang dibahas oleh ilmuwan kimia.

"Anda tak bisa mengontrol apa yang orang-orang  lakukan terhadap temuan Anda. Yah, saya sendiri mengalaminya," kata Nichols.

Ia membandingkan perasaannya saat ini dengan penemu senapan mesin -- alat yang telah menewaskan ribuan orang.

"Bagaimana zat yang tak berbahaya, dijual bebas, dan jadi populer. Jutaan orang terancam gangguan ginjal akut yang susah diobati bahkan mengancam jiwa," demikian tulis Nichols. "Ini akan menjadi bencana besar, yang tak kubayangkan ketika melakukan penelitian. Ini benar-benar menghantuiku."

Nichols sudah mempelajari obat psychedelic selama 40 tahun, khususnya serotonin. Ini, kata dia adalah zat kimia dasar, "yang masuk ke setiap bagian otak dan berkaitan dengan nafsu makan, tidur, seks, agresi, apapun."

Ia mengestimasi setidaknya lima dari ratusan racikan kimia buatannya telah diubah secara ngawur jadi narkoba. Sebelumnya, Nichols tak pernah membayangkan hasil temuannya ke luar dari laboratorium.

Ini sangat mempengaruhinya. Kini, saat bekerja membuat molekul, pernyataan pertama yang terlintas di pikirannya adalah: "Apakah ini akan membuat masalah".

Jika berpotensi, Nichols mengaku akan serta-merta menghentikan penelitiannya.

Setidaknya delapan orang tewas akibat penelitiannya yang disalahgunakan. Bahkan Wall Street Journal tahun lalu, mengabarkan, hasil penelitian Nichols jadi favorit para peracik obat ilegal di Eropa.

Saat mendengar ada yang tewas karena temuannta, Nichols mengaku langsung terduduk di kursinya. "Wow! Jika Anda menembak seseorang dengan pistol, Anda tahu, Anda akan membunuhnya. Tapi jika sebuah teknologi menyebabkan orang meninggal, ini benar-benar di luar dugaan."